Kreativitas Tanpa Batas

Kreativitas Tanpa Batas

Tampilkan postingan dengan label Indonesia Merdeka. Tampilkan semua postingan

 Anak muda umur tujuh belas tahun. Arga Maruta berangkat ke Mataram atas perintah gurunya Syekh Maulana. Ia mengikuti sayembara Mataram. Me...


 Anak muda umur tujuh belas tahun. Arga Maruta berangkat ke Mataram atas perintah gurunya Syekh Maulana. Ia mengikuti sayembara Mataram. Membunuh jendral Denawa. Ia bersama Ranggadewa bekerjasama membunuh jendral denawa. Tetapi ketika ia berhasil membunuh Jendral denawa. Tanpa disangka anak panah melesat menghantam bagian punggungnya. Ia terjungkal dan pingsan. Tubuhnya dibuang entah kemana. Posisi Manggalayuda menjadi milik Ranggadewa. Dia menjadi Adipati Jayakarta sebagai hadiah kemenangannya.
Sungai membawa kehidupan baru bagi Arga. ia ditemukan terdampar di sungai dekat padepokan Gajah Wong. Dewi Sekar dan Dewi Sukma menemukannya. Mereka membawa untuk diobati di Padepokan Gajah Wong. Ia hilang sebagian ingatannya. Tanpa sadar ia menggenggam tangan wanita, Dewi Sekar tanpa diduga. Dewi Sukma begitu agresif menggodanya tetapi dia tak membuat hati Arga tergoda. Syekh Jangkung pemimpin padepokan Gajah Wong.
Petruk menjadi islam setia. Dua kalimat syahadat menegaskannya. Dia menjadi sahabat Arga. Gareng menghadang lajunya. Dia mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat sebagai islam agamanya. Dewi Sekar dan Sengkelat hilang dicuri denawa. Syekh Jangkung memberikan misi padanya. Hadiah menjalankan misi, panah Sarutama dan Gandewa Ardadali menjadi sifat kadelnya. Arga menjalankan misinya. Petruk dan Gareng teman setianya.

Suropati atau Rop bekerja sebagai seorang begal bersama Bal dan Lin. Ia mulai membegal saudagar kaya yang pelit dan memakan hak rakyat. May...

Suropati atau Rop bekerja sebagai seorang begal bersama Bal dan Lin. Ia mulai membegal saudagar kaya yang pelit dan memakan hak rakyat. Mayasima dan temannya menghadangnya. Pertarungan sengit terjadi. Rop menang. Ia kembali membegal kapten Asura dan tiga bangsawan kadipaten Jodhipati. Mereka semua dibantai Rop tanpa ampun karena memakan hak rakyat.

  keberanian dan kesucian untuk menciptakan indonesia terus berkibar dan membahana

 

keberanian dan kesucian untuk menciptakan indonesia terus berkibar dan membahana

 LOGO INI MENGGAMBARKAN NILAI-NILAI KETUHANAN, KEBERNANIAN, SEMANGAT, AMANAH




 LOGO INI MENGGAMBARKAN NILAI-NILAI KETUHANAN, KEBERNANIAN, SEMANGAT, AMANAH

Logo ini menceritakan Keberanian, Kesucian, Kekuatan, Semangat, Tanggung Jawab, Amanah, Displin untuk INDONESA

Logo ini menceritakan Keberanian, Kesucian, Kekuatan, Semangat, Tanggung Jawab, Amanah, Displin untuk INDONESA

Satu nusa satu bangsa satu kekuatan Tuhan Yang Maha Esa satu semangat Pancasila. Indonesa Raya

Satu nusa satu bangsa satu kekuatan Tuhan Yang Maha Esa satu semangat Pancasila. Indonesa Raya

Filosofi Logo Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan keku...





Filosofi Logo
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata. Ciri khas bangsa ada rupa, basa, adat, aksara, kebudayaan.
Rakyat merupakan hakekat berdirinya suatu pemerintahan. Dimana ada rakyat maka ada pemerintahan. Rakyat wujud daulat, mandiri dan adil. Rakyat menunjukkan bentuk unik suatu arsitektur dan destinasi wisata yang maju, kreatif, inovatif, religius dan modern.


Arti Logo
·         Kujang berdiri melambangkan keindahan Property yang unik, kreatif, dan modern.
·         Kujang menyamping melambangkan pariwisata yang modern, unik dan kreatif.
Huruf J yang dibangun dari dua kujang mengartikan Perusahaan yang berinovasi, Pembaruan dalam menciptakan property yang modern dan pariwisata terbesar di Jawa Barat.   
Arti Tagline
Terdepan. Kata ini menunjukkan perusahaan property dan pariwitasa ini satu langkah lebih disbanding yang lainnya.
Terpercaya. Membangun kepercayaan menciptakan pelangan merasa nyaman dan bahagia.

Filosofi Warna.
Lambang 2 warna kujang.
Orange:  Inovasi, Semangat Pembaruan dan Keterbukaan.
Biru  : Kesemestaan, Kedamaian dan Keteguhan

SPESIFIKASI WARNA      C70 M57 Y0 K0 R99 G118 B184     C60 M0 Y80 K0             R114 G193 B109    C0 M0 Y100 K0        ...



SPESIFIKASI WARNA
    C70 M57 Y0 K0
R99 G118 B184
    C60 M0 Y80 K0
            R114 G193 B109
   C0 M0 Y100 K0
            R255 G242 B18
   C0 M60 Y100 K0
            R245 G134 B52

Ukurun logo 1,6 x 1,6
       












Konsep Logo
Cakra merupakan lambang kekuatan dan kepercayaan. Bentuk cakra berdasarkan tiga lambang kasih sayang merupakan tiga hal yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi pekerja migran Indonesia Hukum, Sosioal dan Ekonomi.
Cakra merupakan roda yang selalu berputar. Mereka tanpa kenal lelah terus berupaya yang terbaik dalam melindungi pekerja migran Indonesia diluar negeri. Cakra memiliki sifat keberanian, kekuatan, kepercayaan dan keterbukaan. Sedangkan kasih sayang sifat semesta, harmoni dan ceria.
Konsep Bentuk
Unik, Sederhana, Simpel dan Luwes memaknai keberanian, kepercayaan dan kertebukaan dalam melindungi para pekerja Imigran Indonesia dalam aspek hokum, social dan ekonomi.




Konsep Desain Makna Logo ·          Lima bentuk kujang adalah lima M ( Mendorong, Mengembangkan, Menciptakan, Membangun dan Menjem...


Konsep Desain
Makna Logo
·         Lima bentuk kujang adalah lima M ( Mendorong, Mengembangkan, Menciptakan, Membangun dan Menjembatani)
·         Empat warna pada tulisan ITB adalah industri swasta, pemerintah, akademis, dan komunitas yang pelaku utama tersebut nantinya akan menciptakan inovasi bersama.
·         Lima Kujang berputar memaknai Memandu perkembangan dan perubahan masyarakat melalui kegiatan pengembangan inovasi dan kewirausahaan yang bermutu, bermanfaat langsung dan berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga menghasilkan inovasi melalui peningkatan kualitas kemitraannya dengan industri, pemerintah dan berbagai pihak terkait lainnya
·         Tulisan ITB memaknai Menjembatani ITB dengan industri, masyarakat dan pemerintah dalam rangka membangun ekosistem industri, masyarakat dan jejaring kewirausahaan sehingga Mendorong munculnya startup berbasis inovasi dan teknologi dan Mengembangkan jejaring inovasi teknologi.
·         Tulisan Innovation Park berwarna ungu memaknai Mendorong pembentukan dan pengembangan start up (perusahaan baru berbasis teknologi).
Filosofi Logo
Kujang melambangkan salah satu pusaka peninggalan jaman prabu siliwanggi yang masih ada hingga sekarang, dan merupakan ciri khas budaya sunda yang menjadi kebanggaan masyarakat. memiliki sifat kuat, indah, kreatif, inovatif dan unik.
Filosofi Warna
BIRU: Kesemestaan, Kedamaian, dan Keteguhan.
HIJAU: Kreativitas, Ramah kepada Alam dan Keselarasan.
UNGU: Daya Imajinasi, Keimanan, Kesatuan Lahir dan Batin.
ORANGE: Inovasi, Semangat Pembaruan, dan Keterbukaan.
MERAH: Keberanian, Kekuatan, Energi, Gairah, Semangat, Nafsu dan Adrenalin
Filosofi Bentuk
Luwes, Kuat, Indah, Kreatif, Inovatif Dan Unik.

Bencana besar telah melanda, Palu Tuhan telah diketuknya. Namanya Awan Negara. Umurnya sebelas tahun. Ia tinggal bersama paman dan b...


Bencana besar telah melanda, Palu Tuhan telah diketuknya.
Namanya Awan Negara. Umurnya sebelas tahun. Ia tinggal bersama paman dan bibinya serta saudara sepupunya. Rumah sederhana berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Jogja kota Budaya dan Pendidikan. Banyak tempat wisata pantai, sejarah, candi serta budaya yang membahana.
Bibinya bernama Suketi dan Pamannya bernama Raketi. Pamannya Raketi seorang manager pabrik kulit. Ia seorang laki-laki gemuk. Walaupun kumisnya besar sekali. Bibinya Suketi kurus berambut hitam, lehernya dua Lili panjang leher biasa. Raketi dan Suketi mempunyai anak laki-laki yang seumuran dengan Awan bernama Sakuni. Sifatnya rakus dan tamak seperti badannya gempal. Mereka tinggal di perumahan Puri Indah no empat Jln Jogja Solo.
“Bangun! Bangun! Cepat!”
Awan terbangun dengan kaget. Bibinya menggedor pintunya.
“Banguuun!” lengkingnya. Awan mendengarnya melangkah menuju dapur, lalu bunyi wajan yang dielakkan di atas kompor. Bibinya sudah kembali berada di depan pintu kamarnya.
“Kau sudah bangun belum?” tuntutnya.
“Hampir,” jawab Awan.
“Ayo, cepat. Aku mau kau yang menggoreng daging ayam. Jangan sampai gosong. Aku ingin segalanya sempurna pada hari ulang tahun Raketi.”
Awan mengeluh.
“Apa katamu?”
“Tidak, tidak apa-apa...”
Di ulang tahun Sakuni, Paman Raketi bagaimana mungkin Aku bisa lupa? Dengan enggan Awan turun dari tempat tidur dan mencari-cari kaus kaki. Ditemukannya sepasang di bawah tempat tidur, dan setelah menarik labah-labah dari salah satu di antaranya, dipakainya kaus kaki itu.  Awan sudah terbiasa dengan labah-labah, karena lemari di bawah tangga penuh labah-labah, dan di situlah ia tidur.
Setelah berpakaian, ia pergi ke dapur. Meja dapur nyaris tersembunyi di bawah tumpukan hadiah untuk Sakuni. Tampaknya Sakuni mendapatkan smartphone baru yang diinginkannya, belum lagi laptop baru, dan sepeda balap.
Kenapa persisnya Sakuni ingin sepeda balap, sungguh suatu misteri bagi Awan, karena Sakuni gemuk dan benci olahraga kecuali, tentu saja, bentuk olahraganya adalah meninju orang lain. Kantong tinju favorit Sakuni adalah Awan, tetapi Sakuni jarang berhasil mengenainya. Awan memang tidak kelihatan gesit, tetapi ia gesit sekali.
Mungkin ada hubungannya dengan tinggal di dalam lemari yang gelap, tetapi Awan termasuk kecil dan kurus untuk umurnya. Ia bahkan kelihatan lebih kecil dan lebih kurus dari yang sesungguhnya karena semua pakaiannya lungsuran Sakuni, dan Sakuni empat kali lebih besar daripadanya. Awan berwajah kurus, lututnya menonjol, rambutnya hitam, dan matanya hitam cemerlang. Tajam seperti mata elang. Satu-satunya yang disukai Awan pada penampilannya adalah bekas luka tipis pada dahinya yang berbentuk bintang. Sejauh yang ia ingat, dari dulu bekas luka itu sudah ada dan pertanyaan pertama yang seingatnya ia tanyakan kepada Bibi Suketi adalah bagaimana ia mendapatkan bekas luka itu.
“Dalam kecelakaan waktu orangtuamu meninggal,” katanya. “Dan jangan tanya-tanya lagi.”
Jangan tanya-tanya itu peraturan pertama jika mau hidup tenang bersama keluarga Raketi. Paman Raketi masuk dapur ketika Awan sedang membalik daging.
“Sisir rambutmu!” perintahnya, sebagai ucapan selamat paginya.
Sekali seminggu, Paman Raketi memandang dari atas korannya dan berteriak bahwa Awan harus potong rambut. Awan pastilah sudah potong rambut lebih sering dibanding seluruh teman sekelasnya sekaligus. Tetapi sama saja, rambutnya tetap saja tumbuh begitu berantakan.
Apa penyebabnya? Awan tak pernah tahu.
Awan sedang menggoreng telur ketika Sakuni muncul di dapur dengan ibunya. Sakuni mirip sekali dengan Paman Raketi. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek, matanya kecil, hitam, berair. Rambutnya yang tebal hitam menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Suketi sering mengatakan bahwa Sakuni kelihatan seperti bayi malaikat, sedangkan Awan sering mengatakan Sakuni seperti babi pakai wig.
Awan menaruh piring berisi daging dan telur ke atas meja. Ini susah, karena nyaris tak ada tempat. Sakuni, sementara itu, menghitung hadiahnya. Wajahnya langsung cemberut.
“Tiga puluh enam,” katanya sambil memandang ayah dan ibunya. “Kurang dua dibanding tahun lalu.”
“Sayang, kau belum menghitung hadiah Bibi Waketi, lihat, ini dia di bawah hadiah dari Bapak dan Ibu.”
“Baik, tiga puluh tujuh, kalau begitu,” kata Sakuni, yang wajahnya sudah merah. Awan yang sudah bisa menduga kemarahan Sakuni akan meledak, cepat-cepat mengunyah dagingnya. Siapa tahu Sakuni akan menjungkirkan meja. Bibi Suketi rupanya menyadari datangnya bahaya juga, karena dia cepat-cepat berkata, “Dan kami akan membelikan untukmu dua hadiah lagi kalau kita jalan-jalan nanti. Bagaimana, Manis? Dua hadiah tambahan. Oke, kan?”
Sejenak Sakuni berpikir. Kelihatannya susah baginya. Akhirnya dia berkata pelan-pelan, “Jadi aku akan punya tiga puluh... tiga puluh...”
“Tiga puluh sembilan, anak pintar,” kata Bibi Suketi.
“Oh.” Sakuni duduk dengan keras dan menjangkau bungkusan terdekat. “Baiklah.”
Paman Raketi tertawa.
“Si kecil ini tak mau rugi, persis ayahnya. Pintar kau, Sakuni!” Dia mengacak rambut Sakuni.
Saat itu telepon berdering dan Bibi Suketi menjawabnya, sementara Awan dan Paman  Raketi menonton Sakuni membuka sepeda balap, kamera, pesawat terbang mainan yang dikendalikan  remote control,  enam  belas  permainan  komputer, dan  perekam  video.  Dia  sedang  merobek  kertas  pembungkus arloji  emas  ketika  Bibi  Suketi  muncul  kembali  dengan  wajah marah dan cemas.
“Kabar buruk, Raketi,” katanya. “Bu Lestari kakinya patah. Jadi tak bisa dititipi ia.” Dia mengedikkan kepala ke arah Awan.
Mulut Sakuni melongo ngeri, tetapi Awan yang setiap tahun, pada hari ulang tahun Sakuni, orangtuanya mengajak Sakuni dan seorang temannya jalan-jalan, ke taman hiburan, kios hamburger, atau menonton bioskop. Awan ditinggal, dititipkan pada Bu Lestari, wanita tua aneh yang tinggal dua jalan dari tempat tinggalnya. Awan benci tinggal di sana. Seluruh rumahnya bau kol dan Bu Lestari memaksanya melihat foto-foto semua kucing yang pernah dimilikinya.
“Jadi bagaimana?” kata Bibi Suketi, memandang Awan dengan berang, seakan Awan yang merencanakan sakitnya Bu Lestari. Awan tahu ia seharusnya kasihan Bu Lestari kakinya patah, tetapi ia mengingatkan dirinya bahwa baru setahun lagi ia harus melihat foto Gatot, Parma, dan Tama.
“Kita bisa menelepon Waketi,” Paman Raketi menyarankan.
“Jangan ngaco, Raketi, Dia kan benci anak itu.”
Keluarga Raketi sering membicarakan Awan seperti ini seakan anak ini tidak ada, atau lebih tepat lagi, seakan ia sesuatu yang sangat menjijikkan, seperti bekicot.
“Bagaimana kalau siapa namanya tuh, temanmu Yeni?”
“Sedang, berlibur di Bali,” tukas Bibi Suketi.
“Kalian bisa meninggalkan aku di sini,” Awan mengusulkan penuh harap (ia akan bisa menonton acara yang disukainya di televisi dan mungkin bahkan mencoba laptop Sakuni).
Bibi Suketi kelihatan seperti tersedak telur.
“Dan kalau kami pulang nanti rumah sudah hancur?” geramnya.
“Aku tak akan meledakkan rumah,” kata Awan, tetapi mereka tidak mempedulikannya.
“Kurasa kita bisa membawanya ke kebun binatang,” kata Bibi Suketi pelan, “...dan meninggalkannya di mobil...”


Sholat subuh telah ditunaikan. Rasanya udara pagi memberikan aroma kesegaran. Matahari mulai menyambar wajah-wajah kehijauan. Nampak A...


Sholat subuh telah ditunaikan. Rasanya udara pagi memberikan aroma kesegaran. Matahari mulai menyambar wajah-wajah kehijauan. Nampak Arga telah bersiap duduk di perarapian. Ia memperhatikan keris Pancabuana yang akan ia gunakan untuk memenggal kepala Jendral Denawa. Keris itu dipandanginya secara seksama, kilauan memang menyilaukan mata.
“Nak mas Arga,” kata Senopati Keniten yang berjalan dari perkemahannya. “Sudah Sholat subuh belum!”
Dia mengingatkan tentang ibadah sholat shubuh. Dia seorang bangsawan, dia masih ada keturunan dari sultan Mataram sebelumnya. Dia seorang bangsawan mataram. Dia gagah dan perkasa. Walaupun di usia tua tetapi masih setengahbaya dia masih aktif sebagai senopati mataram.
“Sudah paman senopati!” katanya. “Paman senopati bagaimana?”
Ia kembali mengingatkannya. Arga begitu percaya diri mengenai apa yang akan dilakukannya.
“Sudah!” kata Senopati Keniten. “Aku berjama’ah bersama Tumenggung Kudapaksa dan Tambakbaya serta beberapa prajurit lainnya.”
Dia tersenyum dan amat bahagia. Wajahnya menunjukkan pancaran yang mempesona. Bukan Arga tak percaya mengenai apa yang dilihatnya tetapi wajah senopati Keniten memang luar biasa. Diusia senja dia masih memiliki wajah maskulin yang mempesona.
“Bagus,” kata Arga. “Lain kali aku ingin ikut berjama’ah paman senopati. Apa sebaiknya kita bangun tempat ibadah sementara disini?”
Ia mengajukan usulan mengenai pembangunan tempat ibadah sementara.
“Usulan yang bagus,” kata Senopati Keniten. “Kita akan kemah disini mungkin berminggu-minggu lamanya. Jadi seharusnya ada tempat ibadah untuk tempat kita beribadah.”
Dia terlihat berbinar-binar ketika mengatakannya. Senyuman yang mengudara untuk menyambut rasa bahagia.
“Betul sekali paman senopati,” kata Arga. “Sholat berjama’ah lebih baik dari pada sholat sendirian.”
Senopati Keniten tampak memperhatikannya denga seksama. “Memang sholat adalah tiang agama islam, sholat berjama’ah adalah upaya untuk membangun ukhuwah islam yang madani.”
Arga bisa melihat pancaran kelembutan di bibir Senopati Keniten, kasih sayang yang nyaris tak dapat disembunyikan dari matanya. Yang terlihat merekah disela-sela senyumannya.
“Apa rencana kita nak mas Arga?” tanya Senopati Keniten. “Semenjak kita datang ke perbatasan Jayakarta dan membangun perkemahan, kita belum melakukan pergerakan sama sekali. Memang apa yang nak mas tunggu?”
Dia nampak peduli tentang apa yang terjadi. Dia ingin mengetahui rencananya.
“Bulan masih bersinar,” kata Arga. “Aku masih memberi kesempatan Tumenggung Ranggadewa untuk bertindak dahuluan. Jika dia gagal baru aku maju ke medan perang.”
“Ini sayembara nak mas,” kata Senopati Keniten. “Hampir seminggu kita belum melakukan pergerakan. Apa nak mas tak menggingginkan jabatan?”
“Aku ini ksatria paman senopati,” katanya. “Hadiah tak perlu bagiku tetapi perjuangan dan pengorbanan untuk membela negaraku adalah watakku.”
“Bagus!” puji Keniten.
Tumenggung Kudapaksa dan Tumenggung Tambakbaya sudah keluar dari pekemahannya. Mereka menghampiri Senopati Keniten dan Arga. Wajah mereka tampak gelisah. Mereka bisa dicap ketegangan gugup yang hampir mendekati ketakutan.
Sampai pagi ini. Rasanya ada yang berbeda. Kegelapan disekitarnya tidak seperti biasa membuat bulu kuduk kedua tumenggung itu meremang. Sudah tujuh hari mereka berkemah diperbatasan Jayakarta. Setiap hari lebih buruk bila dibandingkan hari sebelumnya. Hari ini yang terburuk. Angin bertiup dari utara, membuat pohon bekersak seolah hidup.
“Apa yang kalian bicarakan?” sapa Kudapaksa agak menggigil ketakutan.
“Hanya membahas sholat,” kata Keniten. “Aku mengingatkan nak mas Arga agar jangan meninggalkan sholat.”
“Ohhh,” kata Kudapaksa. “Bagaimana rencana selanjutnya?”
“Kata nak mas Arga kita menunggu berita dari raden Ranggadewa,” kata Keniten.
“Maksud kang mas senopati,” kata Tambakbaya. “Menunggu apa inikan sayembara?”
Dia menatap tegang penuh kecemasan.
“Nak mas Arga ingin raden Rangga bergerak dahulu,” kata Keniten. “Jika dia berhasil, maka ia tak akan bergerak untuk mengusik kemenangan raden Rangga.”
“Ia terlalu baik untuk mengalah,” kata Kudapaksa. “Tetapi memang seperti itu sikap ksatria, karena yang pertama kali mengikuti sayembara adalah raden Rangga.”
“Memang…,” kata Tambakbaya. “Tetapi ini sayembara. Siapa cepat dia dapat?”
Wajahnya nampak mencuat merah tetapi masih tenang.
“Benar itu nak mas Arga!” kata Kudapaksa.
Udara berbisik menyambar dedaunan pagi. Ketegangan yang penuh ketakutan terasa segar dan indah ketika mata memandang. Arga merasakan ada udara dingin yang mencekam. Mungkin akan sulit ia bayangkan, imajinasinya kurang liar untuk membuat visualisasi tajam.
“Apa paman mendengar sesuatu?” tanya Arga. “Aku kira ada yang mengawasi kita.”
“Aku rasa juga demikian,” kata Kudapaksa. “Semenjak kita tiba di perkemahan, udara mencekam dan lebih buruk setiap hari menyebabkan ada rasa tegang menakutkan.”
“Aku juga sama,” sahut Tambakbaya. “Mereka seperti meneliti pergerakan kita dalam penyerang ke Jayakarta. Apa mungkin raden Ranggadewa mengirim teliksandi untuk mematai kita.”
Dia membuat argument yang sedikit membahayakan. Dia terlihat agak cemas dan ketakutan. Dia seperti ketakutan jika membuat penilaian buruk terhadap raden Rangga. Memang belum ada bukti untuk menguatkan argumentnya. Tetapi mereka wajib waspada.
Mereka diam sejenak. Memasuki matahari mulai menyambar daun-daun hijau berlumuran embun. Arga mendengar langkah laki berat yang mendekat.
“Assalamu alaikum sang senopati,” kata seorang prajurit yang berlari menghampirinya.
Dia seorang lelaki jangkung setengah baya, wajahnya masih menampakkan pesona alam dunia, belum dimakan usia. Memakai baju prajurit Mataram, nampak kain diikat pinggang melambai-lambai.
“Wa’alaikum salaam,” kata Keniten.  “Ada apa bekel Badra? Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.”
Dia mengangkat bahu dan menatap tajam. Sorotan matanya penuh ketegangan. Angin berbisik menyambar daun-daun pepohonan. Ikat kepala belakang bergerak-gerak bagaikan makhluk setengah hidup.
“Begini sang senopati,” kata Badra. “Ada utusan dari raden Ranggadewa.”
Dia terlihat cemas dan ketakutan. Wajahnya menunduk penuh penghormatan.
“Utusan,” kata Keniten mengulang. “Utusan raden Ranggadewa. Kalau begitu silakan dia hadapan kesini.”
“Baik sang senopati,” kata Badra.
Dia berlari kembali untuk menemui sang utusan. Saat dia kembali, dia bersama seorang lelaki muda dan jangkung. Wajahnya sanggar dan bertubuh gempal.
“Ini utusan raden Rangga sang senopati,” kata Badra mengenalkan.
Keniten mempersilakan Badra agar utusan itu segera menghadapnya. Utusan itu menghadap senopati Keniten.
“Mohon ampun sang senopati!” gumannya. “Kenalkan saya Lurah Kliwon. Saya diutus Tumenggung Ranggadewa, bahwa dia meminta bantuan sang senopati agar mengirim bantuan untuk menyerang Jayakarta.”
“Bantuan,” guman Keniten. “Apa tidak salah?  Raden Ranggadewa yang sakti madraguna meminta bantuan pada senopati tua macam aku ini.”
Dia mengatakan tegas dan berwibawa. Suara yang tinggi sedang membuat suasana agak terguncang.
“Selama seminggu ini,” kata Kliwon. “Dia terus gagal berhadapan langsung dengan jendral denawa. Mereka cukup merepotkan raden Rangga.”
Dia mengungkapkan alasannya.
“Apa dia benar meminta bantuan?” kata Tambakbaya agak tegas. “Biasanya ada hal lain yang dia lakukan agar menang.”
Tambakbaya menaruh curiga pada permintaan raden Rangga. Dia masih meragukan tentang permohonan bantuannya.
“Tidak!” kata Kliwon. “Agar adil, siapa yang dahuluan mengalahkan Jendral Denawa dia yang menang?”
Dia seperti memainkan kata-kata. Dia terlalu tegang berkata. Dia seperti memiliki kecemasan dalam berbicara. Wajahnya sangat lembut menyatakannya.
Arga tak merasakan curiga. Ia menatap lembut padanya. Angin yang masih semilir dingin tak membuat tubuhnya menggigil. Ksatria muda itu masih memandang tinggi dan menghormatinya.
“Baik!” kata Arga.
“Apa nak mas Arga tak curiga?” tanya Keniten.
Senopati Keniten nampak kurang yakin dengan permintaannya. Dia masih meragukan tentang tujuan raden Rangga.  


Makna Logo 75 Indonesia Merdeka Hubungan Harmonis rasa Kebersamaan, Kemanusiaan, Persahabatan, Kekeluargaan dan tingginya sikap saling ...

Makna Logo 75 Indonesia Merdeka
Hubungan Harmonis rasa Kebersamaan, Kemanusiaan, Persahabatan, Kekeluargaan dan tingginya sikap saling toleransi untuk hidup secara berdampingan saling melengkapi antara satu sama lain untuk memujudkan Indonesia disiplin, berdaulat, mandiri, berbudaya dan berwibawa
Makna angka 7
Bentuk angka "7" merepresentasikan kuat dan kokohnya persatuan dan kesatuan Indonesia dalam perbedaan dan keberagaman suku, agama dan budaya Bhineka Tunggal Ika membangun Indonesia berdaulat adil dan sejahtera.
Makna  angka 5
Angka 5 ini melambangkan sikap toleransi dan tolong-menolong secara berdampingan saling melengkapi antara satu sama lain untuk membangun Indonesia berdaulat,mandiri dan berwibawa.
"Kerja Rakyat" menunjukkan Bentuk kerja antara pemerintah dan rakyat yang displin saling percaya dalam  kebersamaan dan gotong royong untuk membangun Indonesia berdaulat dan mandiri dengan masa depan yang lebih baik.
“Berdaulat” menunjukkan manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.