Sholat subuh
telah ditunaikan. Rasanya udara pagi memberikan aroma kesegaran. Matahari mulai
menyambar wajah-wajah kehijauan. Nampak Arga telah bersiap duduk di perarapian.
Ia memperhatikan keris Pancabuana yang akan ia gunakan untuk memenggal kepala
Jendral Denawa. Keris itu dipandanginya secara seksama, kilauan memang
menyilaukan mata.
“Nak mas Arga,”
kata Senopati Keniten yang berjalan dari perkemahannya. “Sudah Sholat subuh
belum!”
Dia mengingatkan
tentang ibadah sholat shubuh. Dia seorang bangsawan, dia masih ada keturunan
dari sultan Mataram sebelumnya. Dia seorang bangsawan mataram. Dia gagah dan
perkasa. Walaupun di usia tua tetapi masih setengahbaya dia masih aktif sebagai
senopati mataram.
“Sudah paman
senopati!” katanya. “Paman senopati bagaimana?”
Ia kembali
mengingatkannya. Arga begitu percaya diri mengenai apa yang akan dilakukannya.
“Sudah!” kata
Senopati Keniten. “Aku berjama’ah bersama Tumenggung Kudapaksa dan Tambakbaya
serta beberapa prajurit lainnya.”
Dia tersenyum
dan amat bahagia. Wajahnya menunjukkan pancaran yang mempesona. Bukan Arga tak
percaya mengenai apa yang dilihatnya tetapi wajah senopati Keniten memang luar
biasa. Diusia senja dia masih memiliki wajah maskulin yang mempesona.
“Bagus,” kata
Arga. “Lain kali aku ingin ikut berjama’ah paman senopati. Apa sebaiknya kita
bangun tempat ibadah sementara disini?”
Ia mengajukan
usulan mengenai pembangunan tempat ibadah sementara.
“Usulan yang
bagus,” kata Senopati Keniten. “Kita akan kemah disini mungkin berminggu-minggu
lamanya. Jadi seharusnya ada tempat ibadah untuk tempat kita beribadah.”
Dia terlihat
berbinar-binar ketika mengatakannya. Senyuman yang mengudara untuk menyambut
rasa bahagia.
“Betul sekali
paman senopati,” kata Arga. “Sholat berjama’ah lebih baik dari pada sholat
sendirian.”
Senopati Keniten
tampak memperhatikannya denga seksama. “Memang sholat adalah tiang agama islam,
sholat berjama’ah adalah upaya untuk membangun ukhuwah islam yang madani.”
Arga bisa
melihat pancaran kelembutan di bibir Senopati Keniten, kasih sayang yang nyaris
tak dapat disembunyikan dari matanya. Yang terlihat merekah disela-sela
senyumannya.
“Apa rencana
kita nak mas Arga?” tanya Senopati Keniten. “Semenjak kita datang ke perbatasan
Jayakarta dan membangun perkemahan, kita belum melakukan pergerakan sama
sekali. Memang apa yang nak mas tunggu?”
Dia nampak
peduli tentang apa yang terjadi. Dia ingin mengetahui rencananya.
“Bulan masih
bersinar,” kata Arga. “Aku masih memberi kesempatan Tumenggung Ranggadewa untuk
bertindak dahuluan. Jika dia gagal baru aku maju ke medan perang.”
“Ini sayembara
nak mas,” kata Senopati Keniten. “Hampir seminggu kita belum melakukan
pergerakan. Apa nak mas tak menggingginkan jabatan?”
“Aku ini ksatria
paman senopati,” katanya. “Hadiah tak perlu bagiku tetapi perjuangan dan
pengorbanan untuk membela negaraku adalah watakku.”
“Bagus!” puji
Keniten.
Tumenggung Kudapaksa
dan Tumenggung Tambakbaya sudah keluar dari pekemahannya. Mereka menghampiri
Senopati Keniten dan Arga. Wajah mereka tampak gelisah. Mereka bisa dicap
ketegangan gugup yang hampir mendekati ketakutan.
Sampai pagi ini.
Rasanya ada yang berbeda. Kegelapan disekitarnya tidak seperti biasa membuat
bulu kuduk kedua tumenggung itu meremang. Sudah tujuh hari mereka berkemah
diperbatasan Jayakarta. Setiap hari lebih buruk bila dibandingkan hari
sebelumnya. Hari ini yang terburuk. Angin bertiup dari utara, membuat pohon
bekersak seolah hidup.
“Apa yang kalian
bicarakan?” sapa Kudapaksa agak menggigil ketakutan.
“Hanya membahas
sholat,” kata Keniten. “Aku mengingatkan nak mas Arga agar jangan meninggalkan
sholat.”
“Ohhh,” kata
Kudapaksa. “Bagaimana rencana selanjutnya?”
“Kata nak mas
Arga kita menunggu berita dari raden Ranggadewa,” kata Keniten.
“Maksud kang mas
senopati,” kata Tambakbaya. “Menunggu apa inikan sayembara?”
Dia menatap
tegang penuh kecemasan.
“Nak mas Arga
ingin raden Rangga bergerak dahulu,” kata Keniten. “Jika dia berhasil, maka ia
tak akan bergerak untuk mengusik kemenangan raden Rangga.”
“Ia terlalu baik
untuk mengalah,” kata Kudapaksa. “Tetapi memang seperti itu sikap ksatria,
karena yang pertama kali mengikuti sayembara adalah raden Rangga.”
“Memang…,” kata
Tambakbaya. “Tetapi ini sayembara. Siapa cepat dia dapat?”
Wajahnya nampak
mencuat merah tetapi masih tenang.
“Benar itu nak
mas Arga!” kata Kudapaksa.
Udara berbisik
menyambar dedaunan pagi. Ketegangan yang penuh ketakutan terasa segar dan indah
ketika mata memandang. Arga merasakan ada udara dingin yang mencekam. Mungkin
akan sulit ia bayangkan, imajinasinya kurang liar untuk membuat visualisasi
tajam.
“Apa paman
mendengar sesuatu?” tanya Arga. “Aku kira ada yang mengawasi kita.”
“Aku rasa juga
demikian,” kata Kudapaksa. “Semenjak kita tiba di perkemahan, udara mencekam
dan lebih buruk setiap hari menyebabkan ada rasa tegang menakutkan.”
“Aku juga sama,”
sahut Tambakbaya. “Mereka seperti meneliti pergerakan kita dalam penyerang ke
Jayakarta. Apa mungkin raden Ranggadewa mengirim teliksandi untuk mematai
kita.”
Dia membuat
argument yang sedikit membahayakan. Dia terlihat agak cemas dan ketakutan. Dia
seperti ketakutan jika membuat penilaian buruk terhadap raden Rangga. Memang
belum ada bukti untuk menguatkan argumentnya. Tetapi mereka wajib waspada.
Mereka diam
sejenak. Memasuki matahari mulai menyambar daun-daun hijau berlumuran embun.
Arga mendengar langkah laki berat yang mendekat.
“Assalamu
alaikum sang senopati,” kata seorang prajurit yang berlari menghampirinya.
Dia seorang
lelaki jangkung setengah baya, wajahnya masih menampakkan pesona alam dunia,
belum dimakan usia. Memakai baju prajurit Mataram, nampak kain diikat pinggang
melambai-lambai.
“Wa’alaikum
salaam,” kata Keniten. “Ada apa bekel
Badra? Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.”
Dia mengangkat
bahu dan menatap tajam. Sorotan matanya penuh ketegangan. Angin berbisik
menyambar daun-daun pepohonan. Ikat kepala belakang bergerak-gerak bagaikan
makhluk setengah hidup.
“Begini sang
senopati,” kata Badra. “Ada utusan dari raden Ranggadewa.”
Dia terlihat
cemas dan ketakutan. Wajahnya menunduk penuh penghormatan.
“Utusan,” kata
Keniten mengulang. “Utusan raden Ranggadewa. Kalau begitu silakan dia hadapan
kesini.”
“Baik sang
senopati,” kata Badra.
Dia berlari
kembali untuk menemui sang utusan. Saat dia kembali, dia bersama seorang lelaki
muda dan jangkung. Wajahnya sanggar dan bertubuh gempal.
“Ini utusan
raden Rangga sang senopati,” kata Badra mengenalkan.
Keniten
mempersilakan Badra agar utusan itu segera menghadapnya. Utusan itu menghadap
senopati Keniten.
“Mohon ampun
sang senopati!” gumannya. “Kenalkan saya Lurah Kliwon. Saya diutus Tumenggung
Ranggadewa, bahwa dia meminta bantuan sang senopati agar mengirim bantuan untuk
menyerang Jayakarta.”
“Bantuan,” guman
Keniten. “Apa tidak salah? Raden
Ranggadewa yang sakti madraguna meminta bantuan pada senopati tua macam aku
ini.”
Dia mengatakan
tegas dan berwibawa. Suara yang tinggi sedang membuat suasana agak terguncang.
“Selama seminggu
ini,” kata Kliwon. “Dia terus gagal berhadapan langsung dengan jendral denawa.
Mereka cukup merepotkan raden Rangga.”
Dia
mengungkapkan alasannya.
“Apa dia benar
meminta bantuan?” kata Tambakbaya agak tegas. “Biasanya ada hal lain yang dia
lakukan agar menang.”
Tambakbaya
menaruh curiga pada permintaan raden Rangga. Dia masih meragukan tentang
permohonan bantuannya.
“Tidak!” kata
Kliwon. “Agar adil, siapa yang dahuluan mengalahkan Jendral Denawa dia yang
menang?”
Dia seperti
memainkan kata-kata. Dia terlalu tegang berkata. Dia seperti memiliki kecemasan
dalam berbicara. Wajahnya sangat lembut menyatakannya.
Arga tak merasakan
curiga. Ia menatap lembut padanya. Angin yang masih semilir dingin tak membuat
tubuhnya menggigil. Ksatria muda itu masih memandang tinggi dan menghormatinya.
“Baik!” kata
Arga.
“Apa nak mas
Arga tak curiga?” tanya Keniten.
Senopati Keniten
nampak kurang yakin dengan permintaannya. Dia masih meragukan tentang tujuan
raden Rangga.
0 coment�rios: