Kreativitas Tanpa Batas

Kreativitas Tanpa Batas

Bencana besar telah melanda, Palu Tuhan telah diketuknya. Namanya Awan Negara. Umurnya sebelas tahun. Ia tinggal bersama paman dan b...

Awan Negara


Bencana besar telah melanda, Palu Tuhan telah diketuknya.
Namanya Awan Negara. Umurnya sebelas tahun. Ia tinggal bersama paman dan bibinya serta saudara sepupunya. Rumah sederhana berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Jogja kota Budaya dan Pendidikan. Banyak tempat wisata pantai, sejarah, candi serta budaya yang membahana.
Bibinya bernama Suketi dan Pamannya bernama Raketi. Pamannya Raketi seorang manager pabrik kulit. Ia seorang laki-laki gemuk. Walaupun kumisnya besar sekali. Bibinya Suketi kurus berambut hitam, lehernya dua Lili panjang leher biasa. Raketi dan Suketi mempunyai anak laki-laki yang seumuran dengan Awan bernama Sakuni. Sifatnya rakus dan tamak seperti badannya gempal. Mereka tinggal di perumahan Puri Indah no empat Jln Jogja Solo.
“Bangun! Bangun! Cepat!”
Awan terbangun dengan kaget. Bibinya menggedor pintunya.
“Banguuun!” lengkingnya. Awan mendengarnya melangkah menuju dapur, lalu bunyi wajan yang dielakkan di atas kompor. Bibinya sudah kembali berada di depan pintu kamarnya.
“Kau sudah bangun belum?” tuntutnya.
“Hampir,” jawab Awan.
“Ayo, cepat. Aku mau kau yang menggoreng daging ayam. Jangan sampai gosong. Aku ingin segalanya sempurna pada hari ulang tahun Raketi.”
Awan mengeluh.
“Apa katamu?”
“Tidak, tidak apa-apa...”
Di ulang tahun Sakuni, Paman Raketi bagaimana mungkin Aku bisa lupa? Dengan enggan Awan turun dari tempat tidur dan mencari-cari kaus kaki. Ditemukannya sepasang di bawah tempat tidur, dan setelah menarik labah-labah dari salah satu di antaranya, dipakainya kaus kaki itu.  Awan sudah terbiasa dengan labah-labah, karena lemari di bawah tangga penuh labah-labah, dan di situlah ia tidur.
Setelah berpakaian, ia pergi ke dapur. Meja dapur nyaris tersembunyi di bawah tumpukan hadiah untuk Sakuni. Tampaknya Sakuni mendapatkan smartphone baru yang diinginkannya, belum lagi laptop baru, dan sepeda balap.
Kenapa persisnya Sakuni ingin sepeda balap, sungguh suatu misteri bagi Awan, karena Sakuni gemuk dan benci olahraga kecuali, tentu saja, bentuk olahraganya adalah meninju orang lain. Kantong tinju favorit Sakuni adalah Awan, tetapi Sakuni jarang berhasil mengenainya. Awan memang tidak kelihatan gesit, tetapi ia gesit sekali.
Mungkin ada hubungannya dengan tinggal di dalam lemari yang gelap, tetapi Awan termasuk kecil dan kurus untuk umurnya. Ia bahkan kelihatan lebih kecil dan lebih kurus dari yang sesungguhnya karena semua pakaiannya lungsuran Sakuni, dan Sakuni empat kali lebih besar daripadanya. Awan berwajah kurus, lututnya menonjol, rambutnya hitam, dan matanya hitam cemerlang. Tajam seperti mata elang. Satu-satunya yang disukai Awan pada penampilannya adalah bekas luka tipis pada dahinya yang berbentuk bintang. Sejauh yang ia ingat, dari dulu bekas luka itu sudah ada dan pertanyaan pertama yang seingatnya ia tanyakan kepada Bibi Suketi adalah bagaimana ia mendapatkan bekas luka itu.
“Dalam kecelakaan waktu orangtuamu meninggal,” katanya. “Dan jangan tanya-tanya lagi.”
Jangan tanya-tanya itu peraturan pertama jika mau hidup tenang bersama keluarga Raketi. Paman Raketi masuk dapur ketika Awan sedang membalik daging.
“Sisir rambutmu!” perintahnya, sebagai ucapan selamat paginya.
Sekali seminggu, Paman Raketi memandang dari atas korannya dan berteriak bahwa Awan harus potong rambut. Awan pastilah sudah potong rambut lebih sering dibanding seluruh teman sekelasnya sekaligus. Tetapi sama saja, rambutnya tetap saja tumbuh begitu berantakan.
Apa penyebabnya? Awan tak pernah tahu.
Awan sedang menggoreng telur ketika Sakuni muncul di dapur dengan ibunya. Sakuni mirip sekali dengan Paman Raketi. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek, matanya kecil, hitam, berair. Rambutnya yang tebal hitam menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Suketi sering mengatakan bahwa Sakuni kelihatan seperti bayi malaikat, sedangkan Awan sering mengatakan Sakuni seperti babi pakai wig.
Awan menaruh piring berisi daging dan telur ke atas meja. Ini susah, karena nyaris tak ada tempat. Sakuni, sementara itu, menghitung hadiahnya. Wajahnya langsung cemberut.
“Tiga puluh enam,” katanya sambil memandang ayah dan ibunya. “Kurang dua dibanding tahun lalu.”
“Sayang, kau belum menghitung hadiah Bibi Waketi, lihat, ini dia di bawah hadiah dari Bapak dan Ibu.”
“Baik, tiga puluh tujuh, kalau begitu,” kata Sakuni, yang wajahnya sudah merah. Awan yang sudah bisa menduga kemarahan Sakuni akan meledak, cepat-cepat mengunyah dagingnya. Siapa tahu Sakuni akan menjungkirkan meja. Bibi Suketi rupanya menyadari datangnya bahaya juga, karena dia cepat-cepat berkata, “Dan kami akan membelikan untukmu dua hadiah lagi kalau kita jalan-jalan nanti. Bagaimana, Manis? Dua hadiah tambahan. Oke, kan?”
Sejenak Sakuni berpikir. Kelihatannya susah baginya. Akhirnya dia berkata pelan-pelan, “Jadi aku akan punya tiga puluh... tiga puluh...”
“Tiga puluh sembilan, anak pintar,” kata Bibi Suketi.
“Oh.” Sakuni duduk dengan keras dan menjangkau bungkusan terdekat. “Baiklah.”
Paman Raketi tertawa.
“Si kecil ini tak mau rugi, persis ayahnya. Pintar kau, Sakuni!” Dia mengacak rambut Sakuni.
Saat itu telepon berdering dan Bibi Suketi menjawabnya, sementara Awan dan Paman  Raketi menonton Sakuni membuka sepeda balap, kamera, pesawat terbang mainan yang dikendalikan  remote control,  enam  belas  permainan  komputer, dan  perekam  video.  Dia  sedang  merobek  kertas  pembungkus arloji  emas  ketika  Bibi  Suketi  muncul  kembali  dengan  wajah marah dan cemas.
“Kabar buruk, Raketi,” katanya. “Bu Lestari kakinya patah. Jadi tak bisa dititipi ia.” Dia mengedikkan kepala ke arah Awan.
Mulut Sakuni melongo ngeri, tetapi Awan yang setiap tahun, pada hari ulang tahun Sakuni, orangtuanya mengajak Sakuni dan seorang temannya jalan-jalan, ke taman hiburan, kios hamburger, atau menonton bioskop. Awan ditinggal, dititipkan pada Bu Lestari, wanita tua aneh yang tinggal dua jalan dari tempat tinggalnya. Awan benci tinggal di sana. Seluruh rumahnya bau kol dan Bu Lestari memaksanya melihat foto-foto semua kucing yang pernah dimilikinya.
“Jadi bagaimana?” kata Bibi Suketi, memandang Awan dengan berang, seakan Awan yang merencanakan sakitnya Bu Lestari. Awan tahu ia seharusnya kasihan Bu Lestari kakinya patah, tetapi ia mengingatkan dirinya bahwa baru setahun lagi ia harus melihat foto Gatot, Parma, dan Tama.
“Kita bisa menelepon Waketi,” Paman Raketi menyarankan.
“Jangan ngaco, Raketi, Dia kan benci anak itu.”
Keluarga Raketi sering membicarakan Awan seperti ini seakan anak ini tidak ada, atau lebih tepat lagi, seakan ia sesuatu yang sangat menjijikkan, seperti bekicot.
“Bagaimana kalau siapa namanya tuh, temanmu Yeni?”
“Sedang, berlibur di Bali,” tukas Bibi Suketi.
“Kalian bisa meninggalkan aku di sini,” Awan mengusulkan penuh harap (ia akan bisa menonton acara yang disukainya di televisi dan mungkin bahkan mencoba laptop Sakuni).
Bibi Suketi kelihatan seperti tersedak telur.
“Dan kalau kami pulang nanti rumah sudah hancur?” geramnya.
“Aku tak akan meledakkan rumah,” kata Awan, tetapi mereka tidak mempedulikannya.
“Kurasa kita bisa membawanya ke kebun binatang,” kata Bibi Suketi pelan, “...dan meninggalkannya di mobil...”

0 coment�rios: