Aku meluncur masuk ke dalam kamar. Badanku
kali ini terasa letih dan payah. Membersihkan toilet menjadi hukumanku adalah
hal terburuk dalam hidupku. Sepertinya ini terakhir kali aku membolos. Lain
kali aku akan sekolah seperti biasa. Pertama bolos mendapat masalah apalagi
kalau terus membolos pasti masalah menjadi makananku.
Merebahkan tubuh ditempat tidur memang
menjadi pilihan untuk menghilangkan rasa letih. Aku masih mengenakan seragam
sekolah. Bagian atas baju batik, bawahan ungu celana panjang menjadi pakaian
khas SMP di wilayahku. Dimana itu? Pastinya Indonesialah!
Kalian pasti ingin tahu wajahku. Mungkin
tubuhku memang agak jangkung dan langsing. Wajahku seperti wajah pada anak SMP
pada umumnya. Tetapi lumayan sih untuk anak jaman milenial sekarang. Maksudku
lumayan tampan.
Mungkin kalian perlu tahu
namaku. Ali Manggala sebutanku. Biasa dipanggil Al. Aku berkulit kekuningan,
rambutku hitam legam. Mataku seperti mata anak Indonesia pada umumnya. Meskipun sering terpapar sinar matahari.
Tubuhku selalu langsing tapi kuat, yang jelas bukan atlet; aku memiliki
kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga. Kepalan tanganku
lumayan kokoh untuk menghancurkan satu batu bata.
Aku bangkit dan meluncur ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah petualangan sehari. Aku
memandang wajahku di cermin sambil merapikan rambutku yang lembab dan kusut.
Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Pertama kali aku merasakan ancaman begitu kuat pagi itu seakan menjadi mimpi malam bagiku.
Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Pertama kali aku merasakan ancaman begitu kuat pagi itu seakan menjadi mimpi malam bagiku.
Malam itu aku gelisah. Bayangan
hitam dalam pikiran menggangguku. Seakan itu nyata bagiku. Malam itu terdengar
sunyi. Kedua orang tuaku belum ada tanda kepulangan. Mereka berdua masih sibuk
seperti biasa. Jadi aku masih meringkuk sendiri di rumah lumayan besar itu. ditemani
dua asisten pembantu di kamar bawah.
Lelaki tua yang cepat menghilang
itu menggangu pikiran dan jiwaku. Perkataannya tentang masjid Al Mutaqim selalu
tergiang terus dalam telingga. Hingga tak terasa awal malam menjelang. Apalagi
malam itu hujan cukup deras tetapi yang tak menyebabkan mataku tersapu malam. Aku
hanya menatap langit rumah, menarik selimut itu menutupi kepala, kemudian
menambahkan bantal-bantal. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak
lenyap juga dari kesadaranku.
Kegelisahan dan kecemasan adalah
factor susahnya untuk memejamkan mata. Langit rumah nampak hitam, terlihat
ancaman lelaki bercodet menjadi varian pandangan. Ketika aku membayangan pagi
itu, seraya bulu kudukku kembali tegak. Rasanya kengerian dan ketakutan kembali
menyelimutiku.
Aku menarik selimutku erat-erat untuk menutupi
mataku. Tetapi tetap saja hal itu tak membuat mata dan pikiran berubah.
Bayangan itu makin dalam menghantui. Pikiranku dibawa melayang menyentuh
dinding-dinding kecemasan. Rasanya memang aku tak bisa tidur.
Aku bangkit. Aku menghampil
hpku. Kutancapkan earphone ke soket hp. Dua ear itu aku selipkan di kedua
telingaku. Sebuah lagu aku putar. Lagu lama mungkin jarang diputar. Koes Plus,
lagu yang terdengar enak dan lembut di telingaku. Lamban laun mataku mulai merasakan kantuk.
Aku bangkit walau rasa
kantuk menghambatku. Aku lepaskan kedua ear dari telingaku. Kuletakkan hpku. Aku
berbaring kembali. Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur,
ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
Paginya hanya kabut tebal
yang bisa kulihat dari jendela kamarku. Di sini kau tak pernah bisa melihat
langit, seperti di kandang. Sarapan bersama kedua orang tuaku berlangsung
hening. Ibuku mengolesi rotinya dengan selai strawbery nampak tegang dan
serius. Bapakku yang menikmati sepotong kue sambil membuka document di hpnya
terlihat serius dan tak terganggu. Gigitan kedua dari potongan rotinya,
dikunyah dan ditelan.
“Bagaimana dengan
sekolahmu?” tanyanya. “Apakah baik-baik saja?”
Aku mendadak syok. Belum pernah
bapakku menanyakan hal itu padaku. Rasanya angin pagi seperti sahabat bagiku.
“Ada sedikit masalah!”
kataku sepihak.
“Masalah,” katanya
mengulang. Wajahnya nampak tenang, tetapi tangannya nampak tegang membuka file
di hpnya. Masalah apa? Apakah masalah serius?”
“Tak!” kataku. “Hanya bosan
saja.”
“Bosan,” katanya. “Apa
sekolah itu membuatmu bosan? Apa kau mau pindah sekolah?”
“Tak!” kataku.
“Jadi kenapa kau bilang
bosan?” tanyanya.
Belum sempat aku menjawab
pertanyaanku. Hp bapakku bordering, dia meninggalkan meja makan dan menjauh.
Dia berdiri di ruang tamu dan mengangkatnya. Wajahnya nampak tegang tetapi
tiba-tiba berubah menjadi bahagia. Lalu dia kembali mendekatiku dan mencium
dahiku. Dia menghampiri ibuku.
“Aku pergi dulu,” katanya.
Tangan kanannya dicium ibuku. Kemudia dia melesat kencang menghampiri mobilnya
dan meninggalkan rumahnya.
“Ada apa bapak, bu?”
tanyaku. “Sepertinya dia nampak bahagia.”
Ibuku menatapku. Senyumannya
memang terlihat manis. Memang manis ibuku lumayan cantik sih.
“Mungkin proyeknya gol,”
kata ibu sepihak.
Dia menikmati sepotong roti
lagi.
“Kau bilang tadi bosan,”
kata ibu. “Jadi kenapa kau tak mau pindah?”
Ibu melanjutkan pertanyaan
bapakku. Wajahnya nampak serius tetepi tenang menatapku.
“Aku hanya bercanda,” kataku.
“Aku hanya ingin kalian memperhatikanku.”
“Oh!” kata ibuku. “Memang
ibu dan bapak selama ini kurang memperhatikanmu.”
Wajahnya memang terlihat
agak kesal.
Ketika hpnya bordering. Dia
mencium dahi dan meninggalkanku sendiri di ruang makan.
“Jadi anak baik-baik,”
katanya.
Rasanya mustahil berada di
rumah ini, dan aku menyadari bahwa kedua orang tuaku selalu pergi meninggalkan
sendiri. Itu membuatku tidak nyaman.
Aku tak mau terburu-buru ke
sekolah, tapi aku tak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan
jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan.
Hujan masih gerimis, tapi
tak sampai membuatku basah kuyup ketika mencoba keluar untuk mengamati keadaan.
Rasanya memang agak dingin tetapi jaketku membalut hangat ditubuhku. Aku kembali masuk.
“Mbok aku pergi dulu,”
kataku berpamitan pada kedua asisten pembantuku. Mereka hanpir sebaya nenekkku.
Wajah mereka nampak termakan usia. Terlihat kerutan tua di dahi mereka.
Aku menyambar tasku dikursi.
Aku buru-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap
di rambutku di balik tudung jaket.
Sepeda telah disiapkan di
muka gerbang. Aku meluncur menaikinya. Aku kayuh sepeda itu dengan lincah dan
cepat. Aku meluncur ke jalan aspal khusus untuk jalur sepeda. Beberapa meter
dari dari arah sekolahku nampak Bronto menungguku.
“Hai bro,” sapaku.
Dia mengikutiku. Kami
mengayuh secara bersamaan. Kecepatan kami memiliki rata-rata sama untuk
menyamai laju. Aku dan Bronto memang memiliki tubuh langsing yang membedakan
hanya tinggi saja. Aku lebih tinggi dari Bronto, mungkin hanya tiga centi.
“Hari kau tidak bolos,
bukan!” katanya. “Aku tak ikut bila kamu bolos. Rasanya membolos membuatku
ketakutan. Aku tak mau kejadian aneh seperti kemarin menjadi terulang.”
Wajahnya terlihat kecut
ketika dia berbicara. Dia seperti menggigil takut. Tangannya agak gemetaran.
“Tentu,” kataku. “Semalam
aku tak bisa tidur memikirkan kejadian pagi kemarin. Pertama kali membolos
malah menciptakan ketakutan. Hal ini menjadi momok mimpiku.”
Aku menatap padanya sambil
mengayuh sepedaku sejajar dengannya. Wajahku nampak kesal dan tegang.
“Sama,” katanya. “Aku tak
bisa tidur semalam. Kejadian lelaki bercodet itu membuat malamku begitu
menakutkan. Ditambah lelaki tua yang cepat menghilang. Itu seperti mimpi buruk
bagiku.”
Belum lama berbincang. Papan
besar bertuliskan sekolah kami terlihat jelas. Meluncur kencang, kami masuk ke
gerbang parkir. Kami meletakkan sepeda disana. Kami segera meluncur ke gerbang
sekolah. Pak Muh, tepat berdiri di depan pintu gerbang.
“Tak bolos,” sapanya.
“Tidak Pak!” kataku. “Kami
sudah tak ingin mengulangi lagi. Membersihkan kamar mandi membuat tubuh kami
letih dan payah.”
“Bagus tu,” katanya.
“Sekarang kalian masuk! Beberapa menit lagi bel akan berbunyi.”
“Baik,” kataku. Kami
bersalaman dan mencium tangan.
Kami melangkah santai
meluncur ke ruang kelas. Aku menghela nafas untuk merasakan udara pagi. Di
dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang kuharap. Aku masuk ke
dalam kelasku. Papan diatas tertulis kelas 2A.
Aku memang kelas dua SMP.
Kalian kira aku kelas berapa. Kelas dua SMA. Pantas saja kalian berfikir
tentang cinta remaja. Ini bukan kisah drama cinta melainkan ini hanya komedi
bercanda.
Ruang kelasku hampir sama
dengan yang lainnya. Kursi bermeja berbaris 4 setiap baris ada 6 kursi bermeja.
Papan tulis putih dan hitam ada didepan. Mengantung layar proyektor diatsa
langit kelas. Meja guru berada di sudut arah masuk pintu, berlapis kain batik
menyilang.
Aku meluncur masuk ke bangku
tepat berada di depan meja guru. Kurang lebih berjarak satu meter.
Aku lepaskan jaketku. Dan
kuletakkan di dekat kursi. Bronto duduk disebelahku. Dia memandangku. Wajahnya
masih tegang dan ragu sama ketika kami berangkat bersama. Matanya terlihat
sayup penuh kecemasan.
“Bagaimana kau semalam?”
tanyanya. “Apa kau bermimpi aneh semalam. Nyatanya aku tak bisa tidur semalam.
Aku masih memikirkan kejadian pagi kemarin hingga sekarang. Hari itu memang
menjadi mimpi semalam yang tak bisa kulupakan.”
“Tenang kawan,” kataku. “Aku
mungkin sama denganmu, tetapi aku masih bisa tidur walau cuma sebentar sih.”
Aku menepuk bahunya. Aku
memberikan sedikit sentuhan ketenangan.
“Bagaimana kau bisa tenang?”
tanyanya. “Aku tak bisa melupakan seluruh kejadian itu. Aku tak tahu bila kejadian
itu menjadi momok bagiku. Aku sungguh menyesal kemarin membolos bersamamu.”
“Aku juga menyesal,” kataku.
“Tetapi apa kau tak penasaran dengan lelaki tua itu. Mengenai perkataannya
tentang masjid Al Mutaqim. Hal itu tergiang dalam pikiran dan benakku.”
“Penasaran!” kata Bronto
mengulang. Wajahnya terlihat kesal. Dia mengerutkan dahinya. “Aku malah
ketakutan bukan penasaran memikirkan lelaki tua itu semalaman. Kau malah bilang
penasaran.”
Dia terlihat jengkel.
Matanya memandang sinis padaku.
Bel bunyi. Pelajaran bahasa
Indonesia menjadi pembuka untuk hari kamis itu. Lelaki gempal dan jangkung
masuk. Dia terlihat seperti buah tomat terlalu matang. Wajahnya begitu bundar.
Tangannya sangat besar. Pak Darmawangsa sebutannya. Orang memanggil Pak Darma.
Dia memang terlihat komedi tetapi bila salah sedikit kata-kata pedas terucap
dari mulutnya.
Aku mungkin orang pintar,
tetapi aku selalu memperhatikan pelajarannya. Bagiku dia adalah panutan.
Walaupun kata-katanya pedas, tetapi itu bagiku motivasi. Maksud membuat
semangat untuk belajar tinggi. Disusul pelajaran sejarah, memang memnyenang
atau mungkin membosankan karena gurunya suka bercerita. Tetapi tentunya diakhir
cerita dia memberikan kami tugas untuk merangkumnya. Nama guru sejarah kami
adalah Pak Karna Wijaya. Panggilannya Pak Karna. Dia masih seumuran ayahku.
Walaupun lebih tua dari ayahku sih. Tetapi dia begitu bersemangat mengajar kami
tentang sejarah.
Ketika bel berbunyi, Aku dan
Bronto meluncur ke kantin sekolah. Berada diujung kelas kelas satu kantin itu
terlihat ramai. Kami melangkah santai. Tanpa sadar seorang gadis menabrakku.
Aku hampir terjungkal jatuh. Untungnya Bronto berhasil menahanku. Aku mulai
bangkit dan berdiri lagi. Sementara gadis itu tertahan di depanku. Kedua
tangannya memegang pinggungnya sambil menatap kesal padaku. Wajahnya terlihat
jengkel dan marah.
“Apa kau tak melihat?” tanyanya.
“Dimana matamu?”
Aku mendadak syok. Ya salah
siapa? pikirku, malah dia marahku.
Matanya memberangas
memandangku. Aku mungkin tak sanggup menatapnya. Tetapi aku hanya tersenyum
padanya.
Dia malah semakin kesal
menatapku. Tangannya makin kencang memegang pinggungnya.
“Jangan senyum-senyum saja,”
gumannya. “Apa kau tak bisa bicara? Apa mulutmu bisu?”
Dia begitu pedas berkata
membabi buta padaku. Nyatanya memang tak bisa bicara. Matanya merah padam
seakan membungkam mulutmu.
“Salah siapa?” tanyanya
Bronto. “Kau menabrak, kenapa kau malah marah-marah? Apa kau tak sadar bahwa
kau tadi menabrak temanku.”
Bronto membalas kesal
padanya. Gadis itu sepertinya membungkam. Tetapi dia merah padam. Matanya masih
memberangas memandangku. Kemudian dia pergi meninggalkan kami.
“Siapa dia Bro?” tanyaku.
“Bukankah dia anak baru itu. Siapa namanya aku lupa?”
“Dia memang anak baru itu,”
kata Bronto. “Dia anak baru yang sok cantik itu. Aku saja malas memandangnya.
Namanya Ara Malika. Biasa dipanggil Ara.”
“Memang dia cantik,” kataku.
“Apa salah kalau dia cantik?”
“Cantiknya memang tak
salah,” kata Bronto. “Tetapi sifat sombongnya itu bikin aku muak
memperhatikannya.”
“Ah ya benar!” kataku. “Jangan-jangan
kau naksir padanya.”
Aku agak sedikit
menggodanya. Dia terlihat kesal menatapku. Tatapan begitu sinis memandangku.
“Jangan bercanda,” kata
Bronto kesal. “Dia bukan tipeku. Aku lebih suka pada tipe gadis seperti Ami
Maika.”
“Ami!” kataku terkejut.
“Anak kelas 1A itu. Dia memang cantik. Bukankah dia sudah punya pacar.”
“Iya sih,” kata Bronto. “Ah!
lebih baik kita jangan bahas, aku sudah lapar niih. Perutku hampir memburu
usus-ususku.”
“Bisa saja kau mengeles,”
kataku.
Kami segera meluncur ke
kantin sekolah. Aku memesan dua mangkok mie ayam dua gelas the hangat. Sementara
Bronto mencari meja kosong. Ketika dia menemukan meja kosong. Dia melambaikan
tangan. Aku meluncur menghampirinya. Aku mula mendekat. Belum sempat duduk
Bronto memburu pertanyaan.
“Bagaimana mas broo?”
tanyanya. “Sudah pesan!”
Wajahnya nampak berbinar.
Berbeda sekali waktu datang dan pelajaran.
“Siip,” jawabku.
Sambil menunggu pesan
datang. Tanpa sadar aku melihat gadis yang menabrakku. Dia ada diseberang
mejaku. Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu. Sekali lagi aku mengintip, dan menyesalinya. Dia
sedang menatapku, matanya yang hitam penuh rasa jijik. Ketika
aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba pesan datang.
aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba pesan datang.
“Siap,” kata Bronto. “Makanan datang. Lapar
sekali aku.”
Bronto telah bersiap dengan
sendok dan garpunya. Dia terlihat tidak sabar menyantap makanannya.
Mie ayam itu menghembuskan
aroma nikmat ke hidungku. Rasanya aku terbius oleh aroma menawan rempah-rempah
yang membakar hidungku. Kenikmatan mie ayam itu melupakan sesaat tentang gadis
disampingku.
Aku menikmati mie ayam itu
dengan santai dan tenang. Nikmatnya mie panjang menyedot seluruh perhatianku.
Mie itu terasa lembut dan kenyal dimulutku. Rasanya gelombang laut menyapu
seluruh tubuhku. Ketika terpuaskan aku menyambar the gelas dihadapan. Rasa lega
dan puas menjadi penutupku.
Tanpa sadar aku mengamati
gadis disampingku. Ara Malika begitu penasaran aku padanya.
Aku mendongak dan beradu
pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa penasaran yang nyata.
Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak olehku bahwa tatapannya
mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan.
“Ngapain lihat-lihat,”
sambarnya. Dia bangkit dan berdiri dihadapanku. Tangannya memegang pinggul.
Mendadak aku syok. Wajahku
nampak lesu. Aku kembali menunduk. Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan
senyumku.
“Senyum-senyum,” katanya
kesal.
“Maaf!” kataku lirih.
“Dasar pencudang!” umpatnya.
Dia memalingkan wajah, dan meninggalkan kantin. Nampak kesal diwajah malah
nampak jelas kalau dia begitu cantik. Apalagi aku memperhatikan ketika dia
meninggalkanku dia sangat anggun—bahkan yang bertubuh ramping dan tinggi
seperti perawakan model.
Mungkin aku sedikit kecawa
padanya. Dia malah mengumpatku. Dan lagi dia tak menolehku ketika aku
perhatikan.
0 coment�rios: