Amarah kembali memuncak, aji pengawak braja
kembali dirapalnya. Tubuhnya membara. Jilatan api ini lebih berbahaya dari api
yang baru saja diracutnya. Hitam merah merangah. Amarah memuncak, Wisanggeni
melayang terbang dengan kecepatan angin. Melintasi samudra dan lautan seperti
dibelahnya. Lesatan tajam menembus awan melewati kerajaan para batara
kahyangan. Kedatangan tamu tak diundang menerjang badai dari berbagai serangan.
Sentra Ganda Mayit menyiagakan pasukan,
beribu-ribu pasukan siap menghadang laju Wisanggeni. Pasukan Bajul Barat membentang
tombak dan pedang. Membentuk barisan pertahanan. Kepergian Batari Durga telah
memerintah pasukan agar bersiaga akan kedatangan penyerangan.
Big match besar akan berkumandang. Panah-panah
berjatuhan menyerang Wisanggeni. Satu mengenai Wisanggeni dan melenting
kembali, Wisanggeni menoleh ke belakang. Di seberang api, Ia melihat
sosok-sosok hitam berkerumun: tampaknya ada ratusan buta Bajul Barat. Mereka
mengacungkan tombak dan pedang yang bersinar merah seperti darah dalam cahaya
api. Duum, duum, bunyi punyalan genderang, semakin keras dan semakin keras,
duum, duum. Wisanggeni melancarkan amukan. Api membara penuh kemarahan.
Membungkus tubuh kecil Wisanggeni. Terjangan badai api merah hitam menyapu
bersih seluruh pasukan Bajul Barat.
Dua buta besar muncul; mereka membawa keping
batu besar sekali, dan melemparkannya untuk dipakai sebagai jembatan melewati
api. Tapi bukan Buta-Buta itu yang membuat Wisanggeni ketakutan.
Barisan-barisan Buta terbuka, dan mereka berkerumun menjauh, seolah mereka
sendiri juga takut. Sesuatu datang dari belakang mereka. Entah apa, tak
terlihat: seperti bayangan besar, di tengahnya ada bentuk gelap, mungkin
seperti bentuk manusia, tapi lebih besar; kenyaatan dan teror ada didalamnya,
memancar dari dirinya.
Ia datang ke pinggiran api, dan cahaya pun
memudar, seolah tertutup awan. Lalu dengan cepat Ia melompati retakan. Nyala
api berkobar ke atas menyambutnya, dan melingkarinya; dan asap hitam mengepul
di udara. Rambutnya yang panjang menyala dan berkobar di belakangnya. Di tangan
kanannya ada pisau seperti lidah api yang menusuk; di tangan kirinya Ia memegang
pecut dengan banyak tali.
Sosok gelap menyala itu berlari cepat ke arah
mereka. Buta-buta menjerit dan berhamburan di lorong-lorong batu.Tantangannya
berbunyi nyaring melenguh, seperti teriakan banyak tenggorokan di bawah atap
berongga itu. Sejenak para buta gemetar, dan sosok menyala itu berhenti. Lalu
gema terompet itu lenyap mendadak, seperti nyala api ditiup angin gelap, dan
musuh kembali menerjang maju.
Raksasa besar mengerikan sudah sampai
jembatan. Wisanggeni berdiri di tengah bentangan, api hitam andalan siap
dikeluarkan, dingin dan putih. Musuhnya berhenti lagi, menghadapi Wisanggeni,
bayangannya menyebar seperti dua sayap besar. Ia mengangkat pecut talinya meraung
dan berderak. Api keluar dan lubang hidungnya.
“Kau tidak bisa lewat,” katanya. Para buta
berdiri diam, hening semuanya. “Aku Wisanggeni ksatria Dursilageni, penggugat
keadilan Batara. Kau tidak bisa lewat. Api gelap tidak akan membantumu, nyala
api merapi. Kembalilah ke Kegelapan! Kau tidak bisa lewat.”
“Hei bocah berhenti kau! Kau ingin musnah
ditangan Patih Kalaludra,” teriak Kalaludra.
“Kalaludra,” guman Wisanggeni. “Sekarang aku
mengerti. Kau merupakan pengabdi Dewasrani dimana rajamu sekarang.”
“Kau berguman seperti orang hilang,” kata
Kalaludra. Disini kau akan binasa sebelum nyawa menyentuh tanah kegelapan ini.”
“Kau memang besar tetapi pikiran dan hati tak
sebesar kehidupan,” kata Wisanggeni. Kau dulu sama sepertinya, tetapi karena
kegelapan telah memakannya makan tubuh gagah berubah menjadi besar seperti otak
udang.”
“Kau berbicara tak tahu aturan,” Kalaludra
kesal. “Kenyaasaan dan kekayaan merupakan apa yang Ia inginkan.”
“Kekuasaan dan kekayaan yang tak benar
menyebabkan hidup tak bernyawa,” kata Wisanggeni. “Dimana kebenaran
berkumandang pasti keadilan akan ditegakkan.”
“Itu bukan urusanku,” teriak Kalaludra. “Aku
diperintahkan untuk melenyapkan nyawamu dalam kobaran kegelapan.”
“Katakan dimana ibuku sekarang?” tanya
Wisanggeni. “Jika kau tunjukkan kepadaku dimana ibuku, aku akan melepaskanmu.”
“Jangan sombong bocah!” kata Kalaludra marah.
“Biar batara kalah darimu, tetapi ini Kalaludra patih andalan Parang Gupita
yang sanggup membumihanguskan sebuah negara.”
Serangan mendadak dilancarkan. Hantaman keras
melesat tajam menghajar tubuh Wisanggeni. Wisanggeni terjungkal di tanah,
hantaman keras datang tak diundang membuat Wisanggeni mabuk kepayangan.
“Bagaimana bocah?” kata Kalaludra.
Wisanggeni bangkit dari tanah kegelapan. Tak
seberapa hantaman yang diterima. Hanya menepis seperti batu yang dilempar.
“Kau tak tahu aturan dalam pertandingan,” kata
Wisanggeni masih merasa pusing. “Watak buta seperti syetan, tak memberikan
kesempatan, langsung serang dalam mencari kesempitan.”
“Oh bocah! perang tak aturan,” kata Kalaludra.
“Big match perang bukan pertandingan sepak bola, tetapi adu kekuatan.”
Serangan bola api dilancarkan, tangan
Wisanggeni menggenggam bola api. Ia melesat serangan tajam ke tubuh Kalaludra.
Tameng besi melindungi tubuh Kalaludra. Pecut dilesatkan, sabetan tajam
menghantam. Tubuh Wisanggeni terlilit pecut api Kalaludra.
“Bagaimana bocah?” kata Kalaludra. “Cuma
segitu kekuatanmu.”
Semakin Wisanggeni bergerak lilitannya makin
kencang. Ia masih ingat keris Kalamesrani, di keluarkannya. Mantra dirapal
‘Malih Sewu’ sebilah keris menjadi ribuan menghantam tubuh Kalaludra. Keris
menujam ke seluruh tubuh Kalaludra. Bukan mati sang patih malah pingsan, aji
pancasona dirapal, Kalaludra kembali hidup.
“Haa……!” tawa Kalaludra. “Dimana kedigdayamu
bocah.”
Api tubuh Wisanggeni makin membara. Panasnya
hitam merah merannga. Pecut api putus seketika. Terjangan bola badai Wisanggeni
melesat tajam, melibas tubuh Kalaludra. Mati hidup dalam palagan.
“Kau gila bocah,” Kalaludra marah.
Serangan Wisanggeni seperti pertandingan hidup
mati, melibas tanpa henti. Api bara Wisanggeni menujam bagai badai tak ada
habisnya. Tenaga hampir mencapai batasnya.
Dari kegelapan, tubuh Wisanggeni menyala
menjulur. Aji pengawak braja dirapalnya. Panas melebihi panas matahari.
Terdengar dering serangan api merah dan putih
membara, membakar buta. Kalaludra itu
mundur, pedangnya terbang hancur berkeping-keping. Lenyapnya Kalaludra membuka
jalan untuk menyerang. Wisanggeni meracut ajinya. Ia masuk kedalam istana kerajaan.
Kerajaan hitam berdiri kokoh di tanah kematian. Banyak tulang-tulang manusia
berserakan. Wisanggeni berjalan tersandung-sandung, menaiki tangga besar
dibalik pintu. Di puncak tangga ada selasar lebar yang bergema. Wisanggeni
mendengar bunyi. Duum, duum, duum, genderang berbunyi dibelakang mereka, sekarang
terdengar sedih dan lambat.
Cahaya mulai makin terang didepan sana;
corong-corong besar melubangi atap. Mereka berlari lebih cepat. Wisanggeni
masuk ke dalam sebuah aula, terang
oleh cahaya pagi yang
masuk dari jendela-jendela tinggi
di sisi timur. Melalui pintu-pintunya yang besar dan
sudah rusak mereka keluar, dan mendadak didepan mereka Gerbang Besar membuka,
sebuah lengkungan penuh cahaya menyilaukan.
Beberapa buta penjaga meringkuk dalam
keremangan, di balik kusen-kusen pintu yang menjulang dikedua sisi, tapi
gerbang-gerbangnya sendiri sudah hancur dan roboh. Wisanggeni menghantam
pemimpin buta yang menghalangi jalan, dan sisanya lari ketakutan melihat
kemurkaan Wisanggeni.
Pegunungan Berkabut menutupinya, tapi di
sebelah timur ada cahaya emas diatas daratan. Baru jam satu siang. Matahari
bersinar; awan-awan berarak putih dan tinggi.
Mereka menoleh ke belakang. Lengkungan Gerbang
menganga gelap di bawah bayangan pegunungan. Redup dan jauh di bawah tanah
terdengar deruman lambat punyalan genderang: awal. Asap tipis hitam mengalir
keluar.
Tak ada yang lain yang kelihatan; lembah di
sekeliling mereka kosong. Duum. Akhirnya kesedihan menguasai mereka, dan lama
sekali mereka menangis: beberapa sambil berdiri diam, beberapa sambil terpuruk
jatuh ke tanah. Duum, duum. Bunyi genderang meredup. Api membara terbang
melayang meyerupai bentuk manusia. Wisanggeni terbang secepat angin. Hitam
merah merangah apinya.
Api datang! Api datang! Api datang!” teriak
pasukan buta.
Terjangan bola badai melibas buta Bajul Barat.
Ribuan pasukan Sentra ganda mayit lenyap habis ditelan api kemarahan. Batara
Kala dan Batari Durga memandang api itu. Meraka menghadang laju api itu, mereka
tak tahan menahan, tubuh mereka hampir terbakar. Tiba-tiba menghilang.
Wisanggeni masih marah, api hitam semakin
merah merangah, ini lebih kuat untuk membakar tubuh batara mau buta. Diseberang
Sentra Ganda mayit ada sebuah kerajaan, disana para buta berjaga dipintu
gerbang.
“Mungkin ini Parang Gupita!” pikir Wisanggeni.
Wisanggeni terbang kearah gerbang kerajaan
itu. Gerbang jebol, pasukan buta penjaga lenyap terbakar. Tiba-tiba Ia
mendengar ibunya penuh tangisan suaranya terdengar samar-samar.
Ia mencari suara yang Ia dengarkan, mendekat
kau ke sebuah istana kerajaan. Disana terlihat orang yang kau kenal, ia pernah
membunuh waktu di Lembah Tua. Seakan Ia teringat waktu ia membunuhnya dengan
kejam.
Api membaranya siap menerjang. Para penjaga Ia
bakar habis tak tersisa. Ia terbang menerjang ke sigasana kerajaan.
“Dewasrani!” teriak Wisanggeni.
“Benar aku Dewasrani, kau Wisanggeni!” kata
Dewasrani dengan lantang.
“Bagaimana kau masih hidup, nyawamu memang
banyak Wisanggeni?”
“Jangan kira hanya dengan membunuhku, kau akan
mendapatkan apa yang kau mau,” kata Wisanggeni kesal.
“Oh bocah kemarin sore, tahu apa kamu tentang
diriku,” kata Dewasrani. “Aku putra batara, raja kahyangan suralaya, apa yang
kuinginkan harus terpenuhi.”
“Kau gila!” Kata Wisanggeni. “Kau telah
melanggar kebenaran dan merusak keadilan.”
“Tugasku bahwa kebenaran harus dimusnahkan,”
kata Dewasrani.
“Tetapi kau salah memilih musuh,” kata
Wisanggeni. “Aku penegak keadilan, untuk menggugat tentang keadilan batara.”
“Memang kau sakti madraguna,” kata Dewasrani.
“Tetapi aku menawanmu ibumu, bagaimana kau akan menyerangku.”
“Kau letakkan dimana ibuku dan lepaskan Ia?” teriak
Wisanggeni dengan amarah.
“Ibumu saat ini, ia akan kujadikan
permasuriku, sekarang ini kau akan menjadi putraku, peluklah diriku” kata
Dewasrani.
“Oh tak sudi aku, kau ingin membunuhku dan bopoku,”
kata Wisanggeni. “Maka tak mau aku mempunyai bopo yang lebih mementingkan dosa
daripada kebaikan.”
“Kau ingin mati Wisanggeni!” teriak Dewasrani.
“Mati demi keadilan lebih baik daripada mati
membela kemungkaran,” kata Wisanggeni.
“Haaa….!” tawa Dewasrani. “Kau memang banyak
bicara bocah.”
“Cepat kembalikan ibuku,” Wisanggeni
mengulang.
“Mati kau Wisanggeni,” teriak Dewasrani sambil
mencari kesempatan menyerang.
Keris ditancapkan ke tubuh Wisanggeni.
Wisangeni menahan dengan dadanya. Keris tak bisa mengenai tubuh Wisanggeni.
Keris memantul lepas dari tangan Dewasrani.
Dewasrani kaget, ah! “Kau sekarang lebih kuat
Wisanggeni,” kata Dewasrani.
Gandewa direntangkan, sebilah limpung
dilesatkan. Terjang keras melesat tajam. Limpung menghantam tubuh Wisanggeni.
Wisanggeni terjungkal.
“Bagaimana bocah?” teriak Dewasrani.
Wisanggeni bangkit dari kejatuhan. Hujan
limpung melesat tajam, Tubuh Wisanggenui kembali menahan. Bara api kembali
memanas. Limpung yang berjatuhan terbakar habis tak tersisa.
“Cuma segitu kemampuanmu Dewasrani,” teriak
Wisanggeni.
“Kau menghinaku bocah!” teriak Dewasrani
marah.
Panah dilesatkan. Kecepatan angin menerpa
daun-daun sekitar. Melesat tajam menujam ke tubuh Wisanggeni. Wisanggeni
terpental. Pusaka yang dilayangkan Dewasrani kali ini lebih kuat. Ribuan panah
menhujani tubuh Wisanggeni. Bara api hitam kembali dirapalkan, hujan panah
musnah seketika terbakar api hitam Wisangeni.
Bara api menerjang tubuh Dewasrani. Ia
terbakar kepanasan, tiba-tiba menghilang. Wisanggeni menemui ibunya. Seorang
wanita cantik disekap dalam kamar. Wisanggeni menobrak pintu kamar.
“Ibu!” Teriak Wisanggeni.
“Wisanggeni anakku,” kata Dewi Dresnala. “Kau
masih hidup, dan sekarang kau telah tumbuh dewasa.”
Wisanggeni sungkem kepada ibunya.
“Bektiku Ibu!” kata Wisanggeni.
“Ya ger Wisanggeni, aku terima bektimu,
pangestune Ibu terimalah!” kata Dewi Dresnala.
“Saya cancang datang mustaka, dadi jimat
keselamatan,” kata Wisanggeni.
Kasih sayang ibu merupakan jalan terbaik dalam
menunjukkan sikap karakter dan mental seorang manusia. Wisanggeni berhasil
menyelamatkan ibunya. Ia kembali membawa ibunya Indra loka. Disana boponya
menunggu. Seluruh Pasukan kera, macan, gajah berserta punkawan telah
menunggunya disana. Melihat Wisanggeni membawa sang istri Janaka membuka senyum
bahagia.
“Bagaimana anakku Wisanggeni?” tanya Janaka.
“Aku telah berhasil mendapat ibunya, dan
musuh-musuh kegelapan telah hilang entah kemana” kata Wisanggeni.
“Baguslah kalau begitu, sekarang saat kita kembali
ke marcapada” kata Birawa.
“Iya kau benar Birawa” jawab Manuhara.
“Tetapi Ia merasakan akan ada bahaya
mengancam, mungkin nanti atau akan datang, karena Dewasrani belum musnah begitu
Batari Durga dan Batara Kala, tetapi saat ini kegelapan kembali terang” kata
Wisanggeni.
“Oke! Tentang yang kau khawatirkan,” kata
Semar. “Tapi mungkin mereka akan muncul saat Amarta dalam keadaan bahaya. Saat
keadilan redup, dan mungkin juga hanya menunjukkan mata-mata Dewasrani yang
berkeliaran di Suralaya. Tapi siapa tahu apa yang bisa terjadi di masa buruk
seperti sekarang.”
Semar memanggil semuanya berkumpul. “Hari ini
tiba juga akhirnya,” katanya. “Hari untuk membuat pilihan yang sudah lama kita
tunda. Apa yang akan terjadi dengan Rombongan kita yang sudah berjalan bersama
sejauh ini? Apakah kita akan pergi
bersama atau kembali ke tempat masing-masing melihat tugas sudah selesai,
Apapun yang akan kita lakukan, harus secepatnya dilakukan. Kita tak bisa
berhenti lama di sini.”
Keheningan lama berlangsung, tak ada yang
berbicara atau bergerak.
“Baik, Wisanggeni,” kata Semar akhirnya.
“Kurasa beban berada di pundakmu. Kaulah pengugat batara yang ditunjuk. Hanya
kau yang bisa memilih jalanmu sendiri. Dalam hal ini, aku tak bisa memberimu
saran. Aku hanya Semar, dan meski aku mencoba memberikan saran atau nasehat,
aku tidak tahu rencana atau harapan apa saat ini, seandainya ada. Tampaknya
kalaupun aku ada di sini, kemungkinan terbesar pilihan tetap tergantung padamu.
Begitulah nasibmu.”
Wisanggeni tidak langsung menjawab. Kemudian Ia berbicara dengan lambat, “aku
tahu sekarang dibutuhkan kecepatan, tapi aku masih belum bisa memilih. Beban
ini berat sekali. Berilah aku satu jam
lagi, dan aku akan berbicara. Biarkan aku sendirian!”
Semar memandangnya dengan perasaan iba.
“Baiklah, Wisanggeni putra Janaka,” katanya. “Kau akan mendapat satu jam untuk
sendirian. Mereka akan tetap disini untuk beberapa saat. Tapi jangan pergi jauh
atau diluar jarak panggil.”
Wisanggeni duduk sebentar dengan kepala
tertunduk. Petruk yang memperhatikan majikannya dengan saksama, menggelengkan
kepala dan menggerutu, “Sudah jelas seperti tongkat lembing, tapi tidak baik
kalau Petruk angkat bicara sekarang ini.”
Tak lama kemudian, Wisanggeni bangkit berdiri
dan berjalan menjauh; Petruk melihat bahwa sementara yang lain menahan diri dan
tidak memandangnya, mata Birawa mengikuti Wisanggeni dengan tajam.
“Aku mengkhawatirkan kau, Wisanggeni,”
katanya, Birawa melangkah maju. “kita telah menjadi sekutu dan sahabat tetapi
kita harus menjalankan tugas kita, mungkin kita akan berpisah untuk sementara
kerena kau telah mendapatkan ibumu lebih baik kau bersama, kita akan lain
kesempatan saat kau membutuhkan Mereka, Mereka akan datang,” kata Birawa
memakili yang lain.
“Kau baik hati,” jawab Wisanggeni. “Tapi
kurasa tidak ada pembicaraan yang bisa membantuku. Karena aku tahu apa yang
harus kulalukan, tapi aku takut melakukannya, Birawa.”
“Jangan takut biar kita berpisah, semangatku
dan kawan-kawanmu akan teru bersamamu” jawab Birawa.
“Baiklah kita akan berpisah, tetapi jangan
melupakan tentang semangat kita bahu-membahu memberikan pelajaran untuk
menegakkan keadilan,” jawab Wisanggeni.
“Baik!” kata Birawa, Manuhara, Mayangkara dan
lainnya.
Laju jalan telah membuat persahabat erat
antara binatang dan manusia, semangat memperjuangkan keadilan, Birawa dan
Manuhara berserta pasukannya kembali ke hutan Kurusetra, Mayangkara dan pasukan
ke pertapan Kendali Sada. Para Punakawan kembali ke Karang kabuyutan, Mereka
bertiga menuju ke Madukara. Sebelum Ia dan ibunya kembali ke Dursilageni.
Kahyangan suralaya kembali dalam kecerahan.
Kegelapan telah hilang. Tentram dan damai keadaan. Keadilan berhasil
ditegakkan. Seorang anak berhasil mengugat keadilan batara. Wisanggeni satria
api tak diinginkan.
Saat Ia berjalan terlihat bayangan hitam yang
masih kecil belum tersapu oleh terangnya kebaikan. Ini masih dini untuk
merasakan hitam kegelapan, tetapi Ia melihat bayangan Dewasrani akan datang.
Kisah sebelumnya KLIK DISINI
Kisah sebelumnya KLIK DISINI
0 coment�rios: